Masa Depan Startup RI di Tengah Ambisi Bukit Algoritma
28 April 2021, 09:00:01 Dilihat: 437x
Jakarta -- PT Amarta Karya (AMKA) bersama dengan PT Kiniku Bintang Raya menyatakan bakal membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pengembangan Teknologi dan Industri 4.0 meniru Silicon Valley di Amerika Serikat (AS) yang diberi nama Bukit Algoritma di Sukabumi, Jawa Barat.
Proyek senilai Rp18 triliun itu digadang-gadang akan menjadi salah satu pusat untuk pengembangan inovasi dan teknologi tahap lanjut, seperti kecerdasan buatan, robotik, drone (pesawat nirawak), hingga panel surya untuk energi yang bersih dan ramah lingkungan.
Manajer riset IDC, Andri Siregar menuturkan Bukit Algoritma hanya merupakan pondasi untuk membuat startup di Indonesia berkembang. Dia menyampaikan ada banyak faktor selain pusat teknologi yang sebenarnya juga perlu disiapkan.
"Ini hanya sebagai pondasi. Ada satu peluang talenta hingga entrepreneurship factor ini yang harus dibangun di atas infrastruktur yang akan dibangun," ujar Andri kepada CNNIndonesia.com, Rabu (21/4).
Andri menyampaikan menghubungkan beragam solusi digital dengan konsumen adalah cara paling ampuh menghadirkan akselerasi teknologi digital di Indonesia. Keberadaan Bukit Algorita bisa jadi tidak menjadi faktor terpenting dalam memfasilitasi jika gagal menghubungkan startup dengan konsumen.
Andri menuturkan lebih dari 400 startup telah berstatus sebagai unicorn di dunia. Sebanyak 70 persen dari jumlah itu ternyata berasal dari Amerika Serikat dan China. Dia menyampaikan banyaknya startup unicorn di AS dan China tak lepas dari banyaknya pusat teknologi.
Di AS misalnya, dia menyebut pusat teknologi bukan hanya Silicon Valley. Terdapat pusat teknologi lain seperti di Texas yang fokus di sumber daya alam. Kemudian, wilayah Boston yang fokus pada bio teknologi dan kesehatan.
Sedangkan di China ada Shenzhen yang menjadi pusat inovasi perangkat keras, Shanghai sebagai pusat finansial, dan Beijing sebagai fokus talenta hingga riset artificial intelligence (AI).
"Jadi ketika kita menyebut Silicon Valley biasanya tidak melihat fakta. Bahwa banyak sekali tech hub di dunia," ujarnya.
Adapun alasan Silicon Valley lebih terkenal dari pusat teknologi lain karena riwayatnya yang panjang. Tempat yang telah ada sejak tahun 1900-an diketahui memulai inovasinya di teknologi radio dan pesawat terbang.
"Hari ini pertumbuhannya perangkat lunak. Artinya da perbedaan yang sangat signifikan antara kapan mereka memulai membentuk Silicon Valley dan kebutuhan hari ini, di mana mereka sudah hampir 100 tahun menjadi pusat inovasi. Sedangkan kita baru memulai," ujar Andri.
Di sisi lain, Andri menyampaikan perkembangan startup tidak hanya terpaku pada ketersediaan pusat teknologi. Dia menyebut dukungan dana lewat ventura dan public listing juga sangat mempengaruhi kesuksesan sebuah startup.
Kebijakan publik yang berpihak pada pengembangan startup dan kemampuan bisnis juga penting membuat startup berkembang.
Andri menambahkan fokus industri di Indonesia juga menjadi kunci seberapa perlu pusat teknologi dibangun. Dia mengingatkan kebutuhan Indonesia berbeda dengan negara lain, layaknya China dengan AS.
"Jadi saya tidak mengambil kesimpulan selama kita belum tahu apa yang mau dituju untuk industri atau sektor tertentu terkait Indonesia. Karena cara Indonesia bisa bergerak maju itu tidak akan sama dengan negara lain," ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Digital Entrepreneur (ADEI), Bayu Prawira Hie menyatakan Indonesia membutuhkan “Bukit Algoritmaâ€. Dia melihat “Sillicon Valley†versi Indonesia itu bisa membuat startup berkembang.
Bayu menyampaikan startup di Indonesia selama ini hanya dikaitkan dengan e-commerce. Padahal, dia menyebut aplikasi seperti Facebook, Instagram, hingga TikTok dibangun startup.
Sehingga, Bayu menuturkan Indonesia jangan hanya fokus pada startup e-commerce. Dia menyebut banyak teknologi digital lain yang perlu dikembangkan.
"Jadi startup bukan hanya e-commerce. Kalau hanya e-commerce, yang namanya Bukit Algoritma itu tidak terlalu perlu lah. Kita bisa melakukan itu tanpa pakai center seperti Sillicon Valley," ujar Bayu kepada CNNIndonesia.com, Kamis (22/4).
Bayu menyampaikan bukit algoritma bisa menciptakan kolaborasi jika di jalankan dengan rencana benar. Pusat teknologi itu dinilai akan mempertemukan pemerintah, universitas, hingga startup.
Lebih lanjut, Bayu menyebut inovator membutuhkan tempat untuk berdiskusi. Dia tidak mengelak diskusi bisa dilakukan secara virtual seperti saat pandemi Covid-19. Akan tetapi, dia meyakini diskusi tatap muka langsung di sebuah pusat teknologi bakal lebih efektif dalam menghasilkan inovasi.
"Tapi kembali, di sana yang kita perlukan adalah masyarakat intelektual. Kemudian diperlukan mentor dari segi bisnis hingga teknologi hingga akhirnya bisa muncul startup lain, selain e-commerce," ujarnya.
Di sisi lain, Bayu mengingatkan startup unicorn yang berbasis e-commerce dan jasa tidak memerlukan pusat teknologi seperti Bukit Algoritma untuk berkembang menjadi besar. Pasalnya, startup itu mengandalkan konsumen. Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar adalah sumber startup berbasis e-commerce untuk maju.
"Kalau di pusat teknologi, startup lain itu bisa sharing infrastruktur teknologi dan sebagainya," ujar Bayu.
Bayu menambahkan ide adalah modal bagi startup menjadi berkembang. Dia menyebut ide tersebut juga harus sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Pemerintah juga harus menyediakan ekosistem, pusat teknologi, dan regulasi untuk mendukung startup menjadi berkembang.
"Kemudian mengerti tentang bisnis. Karena banyak inovator itu hanya melihat produknya bagus, tapi tidak bisa melihat pasarnya besar atau tidak," ujarnya.
Sumber : cnnindonesia.com